Sidoarjo – Sebelum Lumajang, Panasnya Pantura Jawa Timur


20170217

Dulu, sewaktu tahun 2012 ke Sidoarjo, pada awalnya aku berencana pulang ke Jogja dengan naik bus, namun karena dirasa waktunya masih cukup, kuputuskan untuk tetap naik sepeda lagi, balik ke Jogja.

Kali ini (padahal ya sudah hampir 8 bulan yang lalu), karena memang sudah niat untuk mbolang, dari Sidoarjo aku menuju ke arah timur. Sebelumnya, sempat ngobrol dengan Cak Wawa, tentang check point setelah Sidoarjo. Katanya, dari Sidoarjo bisa dirampungkan sampai Leces (wilayah Probolinggo). Oke, patokan awal sudah dapat…

In Front of Paman's House
Di depan rumah Paman di Sidoarjo.

Hari Kamis, 26 Mei 2016, dari rumah Paman di Sidoarjo, perjalanan bersepeda pun dilanjutkan. Dari pusat kota Sidoarjo menuju arah selatan ke arah Pasuruan. Salah satu tempat yang kemudian menjadi ikon adalah tanggul lumpur Lapindo. Dari Sidoarjo kota jaraknya sekitar 8 km. Ada beberapa papan tulisan yang cukup menarik, yang menyatakan bahwa tempat itu sudah jadi ‘wisata lumpur panas’ atau ‘wisata lumpur Lapindo’. Padahal sebenarnya kejadian lumpur Lapindo bisa dibilang adalah ‘bencana’ yang disebabkan oleh kesalahan prosedur pengeboran gas. Bagaimana cerita detailnya? Coba saja dicari di Mbah Google, pasti akan ada banyak artikel yang membahasnya…

House Wreck
“Bongkahan” rumah yang terbengkalai karena “bencana alam” lumpur Lapindo.

Wisata Patung Lumpur
“Wisata Patung Lumpur”, wisata baru di dalam kawasan bencana lumpur Lapindo, hasil karya seorang seniman sebagai bentuk protes terhadap kebijakan kepada masyarakat setempat yang tidak ada kejelasannya.

Welcome to The Mud Tourism Spot
“Selamat Datang di Wisata Lumpur”

Jarak dari Sidoarjo kota sampai Gempol adalah sekitar 10 km. Dari Gempol, jalan raya mulai berbelok arah agak serong ke arah timur, ke arah Pasuruan. Tak banyak hal menarik yang ada di sepanjang jalan antara Gempol sampai Pasuruan. Salah satu pusat keramaian yang ada di antara dua titik itu adalah Bangil, yang kalau tidak salah adalah salah satu kecamatan di Pasuruan, namun mempunyai alun-alunnya sendiri. Jalan dominan datar, dengan selalu didahului oleh truk atau bus besar. Ya jelas, karena jalur pantura (pantai utara) adalah jalur utama transportasi. Untungnya, meskipun jalan tersebut adalah jalan raya utama, di kanan-kiri jalan masih ‘dilindungi’ oleh pohon-pohon besar. Suasana rindang dan adem pun masih bisa dinikmati.

Sekitar jam 11 siang aku sampai di kota Pasuruan. Meskipun di beberapa persimpangan jalan terdapat papan petunjuk arah ke Probolinggo, namun aku tetap mencari di sebelah mana alun-alunnya.

Alun-Alun Pasuruan
Sisi timur alun-alun Pasuruan.

Setelah memotret sepeda di sisi timur alun-alun, aku pun segera mencari warung terdekat untuk melewatkan tengah hari, sekaligus istirahat.

Nah, selepas dari Pasuruan kota ke arah timur, ke arah Probolinggo, suasana pun semakin memanas. Selain masih dekat dengan tengah hari, ditambah dengan lebih jarangnya ada pohon-pohon besar di pinggir jalan. Tak seperti antara Gempol sampai Pasuruan, yang masih ada banyak pohon. Pun lagi, jalannya pun lebih lebar dan lebih halus daripada Gempol – Pasuruan.

Ada satu hal yang menarik perhatianku di sepanjang jalan Pasuruan menuju Probolinggo. Setiap 3 – 5 km, selalu ada kantor kepala desa yang letaknya di pinggir jalan raya. Dan selalu ada setidaknya satu pintu ruangan yang masih terbuka, padahal saat aku lewat itu sudah lebih dari tengah hari, yang artinya kemungkinan besar kantor kepala desa itu akan segera tutup. Hal itu membuatku berpikiran ‘kotor’, “Ah, nanti sore nginep di kantor kepala desa saja ah…..”

Sebelum jam 2 siang, aku sudah memasuki perbatasan kabupaten Pasuruan – Probolinggo. Dan jalanan pun masih tetap sama, panas, datar dan lurus…..

Entah di bagian mana dari Probolinggo, memang sudah masuk kotanya, tapi sepertinya belum sampai di pusat keramaian kota, di tepi jalan ada pal petunjuk jarak yang bertuliskan Probolinggo 0 km. Jadi tahu bahwa 0 kilometer kota Probolinggo malah tidak berada di pusat kota…

Probolinggo 0 km
Probolinggo 0 km.

Papan petunjuk arah menunjukkan arah Lumajang, dan aku pun berbelok ke selatan. Saat itu masih sekitar jam 14.30, dan menurut Google Maps, Leces cuma kurang 10 km lagi. Karena tinggal beberapa kilometer lagi, aku pun mampir lagi di Indomaart; jajan sekaligus ngadem…..

Setelah lewat waktu asar, aku pun lanjut mengayuh ke selatan. Dan, benar saja.. Sekitar setengah jam kemudian aku sudah sampai di Leces. Tapi, hari masih terang dan jalan masih datar, masa harus sudah mencari tempat menginap?

Kulanjutkan saja lagi… Leces masih saja terus ke arah selatan, ke arah Lumajang. Namun, lama kelamaan kok jalannya mulai nanjak? Selain nanjak, suasana pun jadi lebih sepi, tak seramai di jalan antara Pasuruan – Probolinggo tadi. Kanan – kiri jalan lebih banyak didominasi oleh perkebunan atau hutan rakyat. Lalu, di mana aku harus menginap?

Pertanyaan-pertanyaan kapan harus berhenti; menginap di mana; dan lain-lainnya akhirnya terjawab setelah masuk di wilayah kecamatan Ranuyoso, Lumajang. Saat kulihat kantor kecamatannya, kuputuskan untuk mengayuh sebentar lagi. Daaann, tak jauh dari kecamatan, di sebelah barat jalan, ada kantor kepala desa yang terdapat pendapa di depannya. Aku pilih menginap di tempat itu saja…..

A Night in Tegalbangsri
Bermalam di salah satu ruangan di kompleks kantor kepala desa Tegalbangsri, Lumajang.

5 thoughts on “Sidoarjo – Sebelum Lumajang, Panasnya Pantura Jawa Timur

  1. Pingback: Sempolan, Semalam Serasa di Rumah Nenek | Denmas Brindhil - Situsé

  2. Pingback: Banyuwangi, Sebelum Menyeberang ke Bali | Denmas Brindhil - Situsé

  3. Pingback: Yuk Liburan ke Sidoarjo | Denmas Brindhil - Situsé

Leave a comment