Dosa yang Nikmat; Curug Sidoharjo


20150225

Hari Rabu itu (19/02) sepertinya Mas Rd sedang galau. Galau pun mungkin lebih galau daripada seorang yang menanti sebuah jawaban ‘iya ‘ dari seseorang yang sudah ‘ditembak’nya.

Saya baru menyalakan hape sekitar jam 6 pagi kurang sedikit. Eee tiba-tiba saja ada SMS masuk. Ternyata dari Mas Rd. Setelah dilihat ‘details’nya, ternyata beliau mengirimkan SMS itu jam 5 pagi. Pagi-pagi sekali memang. Isinya adalah ajakan untuk sepedaan ke Curug Sidoharjo. Sebelumnya sih memang sudah ada rasan-rasan untuk sepedaan ke sana. Tapi waktu itu belum jadi karena memang belum bisa. Eee Mas Rd ini ajak-ajak di hari Rabu itu. Ya sudahlah. Tapi sayanya baru bisa keluar rumah setelah jam 8 pagi.

Mas Rd berangkat lebih dulu. Setelah tanya-tanya lewat jalan yang mana, saya lalu menyusulnya. Jam 10 kurang sedikit, kami pun ketemu tak jauh dari kantor kecamatan Minggir.

Sepedaan ke arah Kulon Progo dan menyeberang jembatan Kali Progo, baik dari Jalan Godean terus ke barat atau lewat Minggir, membikin saya ingat beberapa hal.

Kalau lewat Jalan Godean terus ke barat, tentu jangan sampai lupa ‘sate susu’ di sebelah selatan jalan, sebelum jalan mulai menurun ke jembatan Kali Progo. Penasaran? Hehehee. Silakan saja dicoba kulineran ke sana. Kalau diceritakan di sini, nanti ‘content’nya bisa-bisa di-banned ini. Hehee.

Sekarang yang lewat Minggir lalu sampai di perempatan Dekso. Pertama, saya jadi ingat kalau dulu pernah beberapa kali main ke rumah temen yang rumahnya tidak terlalu jauh dari perempatan itu. Temen cewek, kakak angkatan, tapi akrab karena kita sama-sama pekok alias konyol. Ya begitulah. Kedua, adalah sepedaan ke arah Samigaluh yang kemudian tembus ke daerah Salaman, Magelang sana, waktu itu bareng rombongan bapak-bapak Pakeman (yang biasa kumpul di Warung Ijo Pakem di Rabu dan Jumat pagi). Yang ketiga, dulu pernah sepedaan rame-rame bareng temen-temen SPSS, sewaktu SPSS ulang tahun yang ke-2 atau ke-3, saya lupa. Saat itu, kami sepedaan menyusuri Selokan Mataram sampai ke ujung barat Selokan atau awal aliran Selokan Mataram. Dari tempat yang dikenal dengan nama Ancol itu, kami lalu ke Borobudur. Lalu, apa lagi yang lain ya? Hhmmm, sepertinya cukup tiga hal itu dulu.

Kata Mas Rd sih lewatnya ya perempatan Dekso itu terus ke barat sampai menjelang Samigaluh. Tapi nyatanya, sebelum sampai ‘kota’ Samigaluhnya, sudah ada papan petunjuk arah untuk ke curug itu. Ya sudah, kami berdua pun mengikuti petunjuk yang ada. Dari persimpangan dari jalan raya yang masuk ke jalan desa itu jaraknya 4,5 km. Okelah tak apa-apa, yang penting, jangan sampai jarak yang tertera itu menipu. Hadeh. Karena (bisa dibayangkan) mulai dari perempatan Dekso ke arah Samigaluh itu jalannya kebanyakan berupa tanjakan. Setelah masuk jalan desa dan dengan aspal yang lebih kasar daripada jalan raya sebelumnya, tentu saja jadi lebih berat untuk nyepedanya. Apalagi semakin ke arah curug, rasanya semakin nanjak saja.

Tapi ternyata papan petunjuk arah itu tertulis jujur, karena memang jarak kira-kira sekian itu sudah sampai di curugnya. Tapi (lagi-lagi tapi) 500-700 meter terakhir menuju curug adalah (hanyalah) jalan setapak yang cocok untuk orang jalan-jalan alias trekking. Buat kami berdua yang nyepeda, membawa serta sepeda sampai ke curug adalah sebuah hal yang kurang kerjaan. Biarpun demikian, nyatanya ya tetap saja dilakoni. Aneh.

Dan, sampai juga di curug itu. Curug Sidoharjo, seperti itu curug itu akhir-akhir ini sering disebut. Nama resminya mungkin tidak (belum) ada, namun dinamai demikian karena letaknya yang berada di Desa Sidoharjo, Kecamatan Samigaluh.

Saat kami berdua sampai di situ, sudah ada serombongan mahasiswi keperawatan dari Unriyo yang sudah asyik berfoto-foto. Ada yang foto rame-rame, ada yang mencoba gadgetnya untuk mengambil foto selfie. Tapi kok ya pada tidak khawatir ya, gadgetnya jadi basah karena cipratan air yang terjun bisa sampai ke tempatnya berfoto? Atau mungkin gadgetnya sudah diplastiki ya? Jadinya bisa anti air. Tapi biarlah, biarlah keasyikan mereka tersalurkan.

Setelah para wanita itu beranjak pulang dan kemudian menghilang di balik kelokan jalan setapak, adalah kesempatan untuk mencoba ‘bermain air’ di bawah air yang terjun dari ketinggian (mungkin) sekitar 30 meter itu. Airnya ternyata dingin, dan lebih dingin daripada di Blue Lagoon. Warnyanya pun tak sejernih di Blue Lagoon. Tapi asyiknya, meskipun air jatuhnya dari ketinggian sekitar itu, saat sampai ke bawah sudah menjadi ringan, karena ada sebagian yang terhempas di bebatuan di dinding air terjun. Kungkum dan pijat alternatif persis di bawah jatuhnya air pun bisa dilakukan.

Kali itu mungkin kegalauan Mas Rd terlampiaskan. Karena beliau dengan asyiknya kungkum di bawah air terjun. Agak lama pula. Sedangkan saya, nyemplung sebentar saja sudah rasanya dingin, jadi ya langsung mentas lagi dari air. Hehehee…

Waterfall

Menjelang jam 12 siang, Mas Rd pun keluar dan mengangin-anginkan badannya. Saya mulai nyicil pakai baju karena celana juga sudah mulai kering. Setelah itu adalah sesi foto-foto. Kebanyakan sih yang difoto cuma sepedanya. Tapi ya tak ada salahnya untuk sekali-kali difoto bareng empunya sepeda. Hehehee.

Kering setelah benar-benar kering, kami pun pulang. Sampai di persimpangan awal di tepi jalan raya, Mas Rd pun melanjutkan kegalauannya (yang telah sedikit terobati) ke arah Samigaluh, alias mau-maunya nanjak lagi. Sedangkan saya ya milih pulang saja. Demikian.

4 thoughts on “Dosa yang Nikmat; Curug Sidoharjo

  1. hehe mesti njenengan iki tulisane lebih apik dan detil, sedikit tambahan nanjak di atas jam dua belas menuju kecamatan Samigaluh itu ternyata adalah suatu kesalahan yg sangat besar. Bikin jarak dan putus asa terasa berlipat ganda :D

    Like

Leave a comment