Bicycle
A-Pro, sepeda buatan Taiwan dari awal tahun 90an inilah yang hampir setiap hari kugunakan, baik untuk commuting setiap hari, atau sesekali untuk jarak yang lumayan lebih jauh (touring/daytrip). Rangka yang berwarna merah dengan ukuran 46 cm, geometrinya sudah cocok dengan tubuhku.
A-Pro, Taiwan made bicycle from early 90s, almost everyday I use it for daily commuting or sometimes for longer distance trip (touring/daytrip). Red coloured frame with size 46 cm, its geometry is already fit with my body.
Crankset
Ketika pertama kali menggunakan sepeda ini, crankset yang terpasang adalah Shimano Deore Biopace dengan seri FC-MT60, oval, dengan gigi-gigi 48-38-28T, masih Japan via. Lama kelamaan, karena sering digunakan, gigi-gigi yang ada di chainring tengah pun aus. Maka kemudian kuputuskan untuk menggantinya dengan crank baru yang murah meriah tapi masih berkualitas, Shimano Tourney seri FC-M131, Malaysia via, 48-38-28 juga. Saat itu harganya Rp. 115000,- (€ 10). Dengan crank arm berwarna silver sepanjang 170 mm, chainring berwarna hitam, tetap nyaman untuk dikayuh.
When I rode this bike for the first time, the attached crankset was Shimano Deore Biopace with serial number FC-MT60, oval, teeth 48-38-28T, still Japan via. Because of the usage, teeth in the middle chainring became smooth. Then I decided to change it with a new crankset, cheap but still have the quality. I changed it with Shimano Tourney with serial number FC-M131, Malaysia via, 48-38-28T. It was Rp. 115000,- (€ 10). With silver crank arm, 170 mm long, black coloured chainring, comfortable to be pedalled.
Pedal
Dari dulu sampai sekarang, pedal yang ada di sepedaku belum pernah ganti, masih tetap Well Go berbahan plastik.
From the first time I rode until now, I never change the pedal on my bike, Well Go in the material of plastic.
Front Derailleur (FD)
Setelah FD SunRace dilepas, aku menggantinya dengan FD Shimano 100GS dengan seri FD-M100, Japan via. Aku membelinya seharga Rp. 35000,- (€ 3.04)Meskipun itu barang second, aku memilihnya karena cage-nya panjang, tidak seperti kebanyakan FD keluaran saat ini yang cage-nya lebih pendek. Walaupun sudah tua, tapi fungsinya masih bagus.
After I unattached FD SunRace, I changed it with FD Shimano 100GS with serial number FD-M100, Japan via. I spent Rp. 35000,- (€ 3.04) for it. Eventhough it is second-hand, I chose it because it has long cage, not like nowadays FD which has shorter cage. Though it is old, it still well functioning.
Rear Derailleur (RD)
Onderdil ini yang sudah beberapa kali ganti. Awalnya SunRace, entah dengan seri apa. Rusak karena tersangkut rumput sewaktu pertama kali sepedaan turun dari Pakem di tahun 2008. Kemudian diganti dengan merek Gilong. Tak beberapa lama, diganti lagi dengan Shimano Tourney, karena kualiasnya yang tak terlalu baik. Sampai sekarang, yang terpasang di sepedaku masih tetap Shimano Tourney seri RD-TX35, Singapore via. Jika harganya belum berubah, RD itu masih seharga Rp. 60000,- (€ 5.22).
This part maybe has been replaced for some times. At first, it was SunRace, I didn’t know the series. It was broken because of some shrubs stuck in it when first time I went down from Pakem in 2008. Then, it was replaced with Gilong. But then I replaced it with Shimano Tourney, because Gilong had low quality. Until now, I still use Shimano Tourney with serial number RD-TX35, Singapore via. If the price doesn’t change, it costs Rp. 60000,- (€ 5.22).
Chains
Rantai yang sekarang terpasang di sepedaku adalah Shimano IG-51, terpasang sejak Oktober 2010. Waktu itu seharga Rp. 40000,- (€ 3.48), tapi sekarang mungkin harganya sudah naik menjadi sekitar Rp. 55000,- (€ 4.8).
Chains which is attached in my bike is Shimano IG-51, has been attached since October 2010. At that time its price was Rp. 40000,- (€ 3.48), but now maybe the price is higher, about Rp. 55000,- (€ 4.8).
Shifter
Sejak pertama kali aku menggunakan sepeda ini, shifternya belum pernah ganti, masih tetap Shimano 200GS 7 speed index, dengan seri SL-M201, Japan via. Meskipun 7 speed, tapi sampai sekarang masih tetap berfungsi dengan baik, dan cocok pula dengan freewheel yang juga 7 speed.
From the first time I rode this bicycle, the shifter lever has never been replaced, it still Shimano 200GS 7 speed index, with serial number SL-M201, Japan via. Although it has 7 speed, but until now it still well functioning, and it fits with the freewheel, which also 7 speed.
Hub & Freehub
Di tahun 90an, hub-freehub Shimano Parallax STX punya kualitas bagus. Sampai sekarang juga, jika masih ada yang baru, barang ini pun masih dicari orang. Sampai sekarang, sepedaku menggunakan hub-freehub ini
In the 90s, Shimano Parallax STX hub-freehub known by its quality. Nowadays, if there are any new stuff, people still looking for it. Until now, it still attached in my bicycle.
Rims
Seperti kebanyakan sepeda di awal tahun 90an, awalnya sepeda ini juga menggunakan velg atau rims biasa berbahan besi. Lalu oleh bapakku langsung diganti dengan yang aluminum, dengan merek Rigida, 32 hole. Katanya, rims Rigida yang ada di sepeda ini masih asli ‘Made in France’, hampir sama dengan rims Wolber. Tak seperti kebanyakan rims Rigida buatan sekarang, yang ‘Made in Malaysia’. Di awal 90an, rims ini termasuk bagus, karena sudah double wall.
Just like in common bicycles in early 90s, at first, this bicycle also used steel rims. Then, my father changed it with aluminum rims, with Rigida brands, 32 hole. Someone said that this Rigida are still ‘Made in France’, almost the same with Wolber rims (also ‘Made in France’). Unlike the common nowadays Rigida rims, that ‘Made in Malaysia’. In early 90s, this rims were good qualified, because they were already double walled rims.
Di pertengahan 2012, velg / rim bawaan awal sobek saat mengganti ban. Akhirnya aku memakai velg baru merk Araya, seri TM 840F.
In mid 2012, one rim was broken when changing the outer tire. Then I changed it to Araya brand, series TM 840F.
Tyres
Aku memakai ban yang berbeda untuk roda depan dan roda belakang sepedaku. Untuk roda depan, aku menggunakan ban Deli Tire, ukuran 26 x 1,50, buatan asli Indonesia, dengan harga Rp. 35000,- (€ 3.04) atau Rp. 70000,- (€ 6.09) sepasang. Kugunakan pertama kali pada Oktober 2010, dan sampai sekarang, sudah hampir dua tahun masih awet. Untuk roda belakang, aku menggunakan ban Schwalbe Marathon Slick, ukuran 26 x 1,75. Aku mulai menggunakannya sejak Desember 2011. Sebelumnya, aku menggunakan ban CST City Traveller ukuran 26 x 1,50, kuganti saat akan touring ke Semarang. Meskipun ban Schwalbe ini memang gundul (tanpa motif di permukaan bannya), namun mempunyai cengkeraman yang kuat dengan aspal dan awet meskipun dalam setengah tahun ini sudah kugunakan lebih dari 3000-4000 km, baik untuk kegiatan sehari-hari atau sesekali jarak jauh.
I use different tyre for the front and rear wheelset in my bicycle. For the front, I use Deli Tire, size 26 x 1,50, local product of Indonesia, it costs Rp. 35000,- (€ 3.04) or Rp. 70000,- (€ 6.09) for a pair. I started to use it in October 2010, and until now, almost two years, it still in good condition. For the rear wheel I use Schwalbe Marathon Slick tyre, size 26 x 1,75. I started to use it in December 2011. Before that, I used CST City Traveller tyre, size 26 x 1,50, then I changed it before I went on a tour to Semarang. Although this Schwalbe has slick surface, but it has strong grip with the road surface. It still in good condition though I have used it for about 3000-4000 km in this last six months, for daily commuting or sometimes for long distance trip.
Setelah dipakai hampir dua tahun, akhirnya kuganti ban luar yang ada di sepedaku. Dari yang sebelumnya menggunakan Deli Tire dan Schwalbe, sekarang aku menggunakan Cheng Shin Tire non series. Pada saat awal dahulu kembali suka sepedaan, aku pernah memakai ban luar Cheng Shin Tire juga, dan itu awet selama dua tahun. Jadi, saat ini aku kembali memilih ban itu.
After almost being used for two years, finally I changed the outer tire. Previously I used Deli Tire and Schwalbe, now I’m using Cheng Shin Tire, non series. At first time (again) I love to ride, once I ever used that brand, and it lasted almost two years. So, now I choose that brand.
Racks
Ada dua buah rak yang bisa dipasang di sepedaku, rak belakang dan rak depan. Rak yang biasa terpasang adalah rak yang belakang. Sedangkan rak depan kupasang jika akan bepergian ke luar kota dan butuh untuk menginap juga. Rak belakang adalah rak dari sepeda Polygon Sierra, seharga Rp. 65000,- (€ 5.65), yang kemudian aku tambahi dengan beberapa bagian besi tambahan, sehingga saat membawa tas, tasnya tak akan masuk ke ruji. Rak depan adalah rak rancangan sendiri, dan aku memesannya di sebuah bengkel las di Tukangan, dekat stasiun Lempuyangan. Harga yang kubayar sebesar Rp. 50000,- (€ 4.35). Rak depan tidak besar, hanya mampu membawa beberapa tas kecil saja.
Sekarang sudah ada rak depan yang baru, merek Landstro. Di wadahnya tidak tertulis rak itu buatan mana, tapi katanya ‘Made in China’. Harga pasaran saat itu sekitar Rp. 200000-250000,-.
There are two racks that can be attached on my bicycle, rear rack and front rack. The rear rack usually always attached on my bicycle. Then the front rack, I attach it when I want to go out of the town and stay overnight. The rear rack was Polygon Sierra rack, priced Rp. 65000,- (€ 5.65), and added with some steel parts, so when I hang a bag on it, the bag won’t get in to the spokes. The front rack is a customized rack. I drew the drawing and I brought it to the steel workers in Tukangan, near Lempuyangan train station. I paid Rp. 50000,- (€ 4.35) for it. It is small, it can only carries some small bags.
Now, there’s the new front rack, Landstro brand. In the cover there’s no sign where it is made, but someone said that it is ‘Made in China’. The price at that time was about Rp. 200000-250000,-.
Brakes
Orang sekarang bilang kalau rem yang ada di sepedaku sudah ketinggalan jaman. Sekarang sudah jamannya rem V-brake dan rem cakram, tapi sepedaku masih menggunakan rem cantilever. Rem cantilevernya pun tak terlalu ternama, karena memang tanpa merek, tapi masih buatan Taiwan. Setelah sempat membuka laman internet, khususnya tentang sepeda touring, sepeda touring pada umumnya malah menggunakan rem sejenis ini. Jadi aku merasa beruntung karena masih bisa menikmati fungsinya, meskipun barangnya sudah lama.
People said that the brakes in my bicycle were out of date. Now is the time of V-brakes and disc brakes, but my bicycle still using cantilever brakes. Its canti is not too famous, because there is no brand written on it, though it is Taiwan made. After I openend some internet pages, especially about touring bicycles, common touring bicycles use this kind of brakes. So I feel lucky, I can enjoy the past technology, but still useful until now.
Reflectors
Ada beberapa reflektor yang terpasang di sepedaku, di depan dan di belakang, juga di pedal. Beberapa adalah barang ‘Made in Taiwan’, namun kebanyakan masih dengan merek Cat Eye, ‘Made in Japan’. Hehehee.
There are some reflectors attached on my bicycle, front, rear, and also on the pedals. Some of it are ‘Made in Taiwan’, but most of them still branded Cat Eye, ‘Made in Japan’. Hehehee.
Seat Clamp
Sejak pertama kali menggunakan sepeda ini, seat clamp yang ada sudah Kalloy, berwarna silver.
Since first time I used this bicycle, the seat clamp is Kalloy, silver coloured.
Cycle Computer / Speedometer
Karena sering sepedaan jarak jauh, di akhir 2010 muncul keisenganku untuk memasang speedometer di sepedaku. Saat itu ada teman yang menjual speedometer murah meriah merek SundinG, seharga Rp. 65000,- (US$ 7,22). Speedometer ini pernah pula masuk di majalah tentang sepeda yang me-reviewnya. Sampai sekarang, speedometer ini masih berfungsi dengan baik. Hal yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai terpapar simar matahari langsung dalam waktu yang lama, apalagi pada saat tidak sepedaan. Jika memang sedang tidak bersepeda, lebih baik speedometer ini dilepas dari mountingnya.
Because I love to cycling in long distance, at the end of 2010, I wanted to attach a cycle computer/speedometer on my bicycle. At that time, my friend sold cheap cycle computer, SundinG cycle computer, its price was Rp. 65000,- (US$ 7,22). This cycle computer had ever reviewed by a cycling magazine at that time. Until this day, it still has good function. Things that needed to be an attention is do not let the cycle computer under the sun heat for a long time. When you are not go cycling, it is better to put the cycle computer off its mounting.
mantab bro…
LikeLike
Thanks. Nuwun Oom.
LikeLike
Sepeda saya Frame Mosso 791Tb7 fork full carbon berat 1,04 kg. Sproket Recon Gold 10 speed berat 0.4 gram. Crank shimano 105 double, FD shimano 105, Wheelset RS 20 Shimano, Ban luar Xenith 2x, Ban dalam CST, Stang Amoeba, Stem Trutative, Seatpost Amoeba, Sadle Velo Senso Miles, Rantai Yaban Gold self lubricant 10 Speed, Handle Rem Tiagra, Shifter Deore 3×10 speed, RD Shimano XT 10 speedl. mohon pencerahan apa yg salah ya om/ trims
LikeLike
Menurut saya nggak ada yang salah Om, karena kenikmatan bersepeda tiap orang itu sendiri-sendiri sensasinya. Kalo liat spek-nya, jelas itu sepeda balap ya Om. Asal tiap onderdil bisa digunakan sesuai fungsinya dan bisa digunakan dengan semestinya, sudah oke kok Om. Demikian.
LikeLike
federal city cat apa kompatible untuk dijadikan sepeda touring ? thx
LikeLike
Ada teman saya yang pakai City Cat juga, Om. Asal onderdilnya dirawat dengan baik & kita tahu juga kemampuan onderdil itu, bisa dipakai touring. Juga yang penting, tubuh tetap bisa nyaman di atas sepeda itu, Om.
LikeLike
asli keren spec- apronya
menarik membaca smua partnya dg lengkap
makasih infonya bro
LikeLike
Adi: apik tenan ulasanne, wis nate ningali wujude pas mudik lebaran 5 Agustus 2013 kepanggih Denmas Brindhil ning Tugu Jogja _/\_
LikeLike
perasaan rak depannya sdh ganti deh hehehe
LikeLike
Oké Kakak.. Baiklah, nanti cuba saya èditnya… :D
LikeLike
settingnnya ciamik dan tepat guna..
LikeLike
Walkamdulilah seperti itu, Kak. :)
LikeLike
Pingback: » tentang Tiwul, Farah Queen & Jembatan Gantung blog auk
mantappp sepeda milik sendiri dikenali dan dinikmati sendiri, bravo om
LikeLike
Salam kenal ..
Wah kita senasib mas hhee .. Sy jg pake mtb merk A Pro, dulu jg sy beli sktr thn 90an dgn hrg 400rb. Dulu sy pake untuk kuliah, jalan2 dan ngapelin pacar (jaman bujangan) hehe .. Cuma yg sy wrnnya biru, mas ..
Salam gowes dr Bandung
LikeLike
Walkamdulilah ada sesama penunggang A-Pro. Héhéhéé. Brarti sekarang ini buat boncèngin istri bisa dong, Mas? Salam kenal balik, Mas.. :D
LikeLike
Pingback: » mas Radith kui blog auk
Saya malah paling suka tipe rem Cantilever. Teknologi dan tekniknya sederhana. Cuman ada kedua bantalan rem yang bergerak sekaligus begitu kabel ditarik di tengah. Mirip sama rem onthel. Kesederhanaan ‘tarikan tengah’ ini bikin dia relatif lebih mudah digunakan dan paling bisa diandalkan, at least buat sepeda kota/urban/utilitas… v-brake punya tarikan tidak di tengah yang sering bikin gerakan bantalan rem nggak kompak. Dan disc brake, selain emang terlalu mengada-ada buat sepeda kota, relatif lebih rewel. Meleset 1 mm saja settingan caliper, ya ampun, itu bantalan ngerem terus. Keringet ngucur, tapi gowesan nggak kemana-mana…
LikeLiked by 1 person
Apik Om ulasanne .
LikeLike
mantab om …..apro
LikeLike
Saya punya pasangannya di rumah… Ladies A-PRO
LikeLike
Hahahai, ya sama Oom. Sejak November 2017 saya juga sudah punya pasangannya itu, ladies warna putih. Sip.
LikeLike