Klayar, yang Tertunda


20140131-0201

Munculnya niat ke pantai Klayar sebenarnya sudah ada sejak Idul Kurban 2013 yang lalu, dan saat itu sebenarnya juga sudah mencoba bersepeda menuju ke tempat tersebut. Namun, yang namanya halangan (entah apapun itu bentuknya) bisa mengubah niat dan batal mencapai tempat tujuan.

Hari Jumat, tanggal 31 Januari 2014 bertepatan dengan Hari Raya Imlek atau tahun baru bagi kaum Tioghoa. Angka di kalender berwarnya merah, yang tentu saja artinya hari libur. Sepertinya secara spontan saja, akhirnya aku memutuskan untuk pergi menuju pantai Klayar di tanggal tersebut.

Pakaian ganti secukupnya, alat atau kunci yang berkaitan dengan onderdil sepeda, pun bekal camilan sudah masuk ke dalam tas punggung yang dimodifikasi sehingga bisa digantung di rak belakang. Pagi itu dimulai sekitar pukul 06.30, meninggalkan rumah dan mengayuh pedal.

Rute antara kota Jogja sampai ke Wonosari mungkin sudah pernah aku ceritakan, mungkin lho, entah di cerita dengan judul apa di blog ini. Jadi, kali ini aku lewati saja bagian itu.

Dari Jogja menuju kota Wonosari, kemudian terus mengarah ke timur menuju Semanu, Bedoyo, kemudian Pracimantoro. Pracimantoro sudah termasuk wilayah kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Lalu masih menuju ke timur, ke Giribelah, berjarak sekitar delapan kilometer dari Pracimantoro.

Perempatan Giribelah bisa disebut persimpangan yang cukup ramai, karena persimpangan itu merupakan jalan utama menuju ke Pacitan, dengan jarak yang paling dekat. Jika menuju ke timur, maka kemudian akan menuju jalan utama Solo – (Wonogiri) – Pacitan. Aku sebelumnya sudah pernah melewati jalan itu. Maka kali ini aku mencoba ke arah selatan, jalan yang menurut peta lebih dekat untuk bisa sampai ke pantai Klayar.

Kata seorang ibu penjual angkringan yang aku singgahi saat di Giribelah, dari Giribelah, pusat keramaian berikutnya adalah Paranggupito, sebuah kecamatan di Wonogiri, dari Giribelah sekitar sepuluh kilometer. Di kilometer pertama dari Giribelah adalah sebuah tanjakan panjang. Tak perlu cepat-cepat, yang penting konstan dan kontinyu dalam kayuhan. Jalanan aspal halus hanya sekitar lima kilometer saja. Selanjutnya bisa kusebut sebagai ‘aspal swadaya desa’. Di beberapa bagian ada yang berlubang. Bagi motor atau mobil mungkin hal tersebut bisa diatasi, namun bagi sepeda dengan fork rigid dan penuh muatan pannier? Ya kita harus lebih berhati-hati saja lagi.

In The Middle of Nowhere
Jalan sempit di tengah ‘hutan’, yang konstan dengan tanjakan dan turunan, di antara Paranggupito dan Kalak.

Bisa kubilang, jalanan aspal desa yang berlubang antara 3 km sebelum Paranggupito hingga 5 km setelahnya (jika kita menuju ke arah Kalak/pantai Klayar). Sekitar 5 km setelah Paranggupito, maka kita mulai masuk wilayah provinsi Jawa Timur. Batas antara Jawa Tengah dan Jawa Timur tak semegah di jalan raya antara Giribelah – Donorojo, yang gerbangnya besar dan kemudian dilanjutkan dengan aspal yang sangat halus. Perbatasan yang kulewati hanyalah sepasang gapura sederhana, seperti layaknya gapura antardesa.

Setelah perbatasan tersebut, jalan aspal desa sudah lebih halus dari sebelumnya. Meskipun masih dengan lebar jalan yang hampir sama, namun lebih sedikit ditemui lubang-lubang di jalan. Pun setelah masuk Jawa Timur, jalanan rata-rata mulai menurun, tak banyak tanjakan. Apalagi sekitar satu kilometer sebelum sampai Pasar Kalak, di kiri-kanan jalan sudah ada ‘peradaban’ alias perkampungan penduduk, di sebelah selatan sudah tampak birunya Lautan Hindia.

5 km to Klayar

Pasar Kalak adalah sebuah pasar desa yang letaknya di sebuah pertigaan, jika ke barat menuju Paranggupito (di mana aku lewat), jika ke timur menuju Punung atau kota Pacitan, dan jika ke selatan menuju arah pantai. Setelah istirahat sebentar, aku pun meluncur ke selatan menuju pantai. Pantai Klayar, aku datang.

Seperti kebanyakan pantai di Gunungkidul, jalanan menuju pantai adalah turunan. Ada beberapa tanjakan, namun tak sebanding dengan turunannya. Pikirku, “Ah, payah ini besok kalau pulang. Isinya tanjakan semua.” Biarlah, yang penting sudah bisa merasakan Pantai Klayar.

Persis lima kilometer, sampai juga di tepi pantai Klayar. Saat itu masih sore, sekitar pukul 4 sore. Masih banyak mobil dan motor pengunjung pantai terparkir rapi, pun dengan warung-warung yang ada, penuh dengan pengunjung. Lha aku mau parkir sepedaku di mana ini?

Pasar Akik
Pasar Akik di Pantai Klayar, buka dari sekitar jam 9 pagi sampai jam 5 sore.

Setelah beberapa jepretan, kutuntun sepedaku lebih jauh lagi ke arah timur, menyusuri pasir putih pantai itu. Sekitar 200 meter dari tempat aku mengambil beberapa jepretan tadi, sampai juga di sebuah warung makan yanghampir tutup, dan kemudian aku minta ijin untuk numpang menginap di terasnya untuk malam itu.

On The Beach

Dan memang namanya kebetulan, ketika kemudian ngobrol-ngobrol dengan seorang warga setempat, Pak Sandimun namanya, yang kemduian menawariku untuk numpang di penginapannya yang sedang dibangun. Ya sudahlah.

My Lodge

Keesokan paginya, aku terbangun karena alarm yang tetap berbunyi di telepon genggamku. Sepertinya semalam lupa agar tidak kusetel saja. Tapi, karena sudah terbangun, ya kemudian dilanjutkan saja agar tidak tanggung-tanggung.

Cuaca di pantai Klayar pagi itu agak sedikit mendung. Tapi tak seperti semalam yang sempat beberapa kali hujan secara tiba-tiba, deras pula. Ombak di pantai pun sudah jauh surut jika dibandingkan malam hari sebelumnya.

Matahari yang tertutup awan menjadikan suasana pagi itu terasa lebih dingin, tidak seperti saat cuaca cerah sepenuhnya. Namun karena faktor mendung itulah, ada beberapa gambar yang menurutku menjadi lebih menarik.

My Favourite Capture

IMG_0036 db

Another Side of Klayar

Satu bagian pantai yang paling menarik sering disebut dengan ‘seruling samudera’, kalau diubah ke bahasa Inggris jadi ‘ocean’s flute’, sedikit terdengar lebih keren. Sebenarnya, apa itu seruling samudera? Sebagian penjelasannya ada di sebuah papan yang ada di pantai itu.

Situs Pantai Klayar

Penjelasan secara gampangnya mungkin seperti ini. Di bagian pantai yang berupa batuan karang, saat ada ombak besar menghempas ke bagian bawah batuan, maka akan menyembur air hempasan tersebut melewati celah kecil yang ada di batuan karang itu. Semburan air itu tampak seperti air mancur. Seringnya, air yang ‘muncrat’ dari celah batu karang itu tak begitu tinggi, namun kadang juga bisa lebih tinggi dari sekitar sepuluh meter dan terdengar juga suara khas. Mungkin dari suara khas yang tersengar itulah kemudian dinamakan dengan seruling samudera. Namun sayangnya, saat itu tak terjadi semburan yang begitu tinggi dan tak terdengar suara semburannya, atau mungkin saja suaranya kalah keras dibandingkan suara deboran ombak yang selalu menghantam tepi batuan karang.

Ocean Flute
The Ocean’s Flute.

Sebelum jam 6 pagi, suasana di sekitar titik itu masih sepi. Hanya sekitar lima orang saja yang berfoto dengan latar belakang air semburan itu. Namun hanya selisih sekitar 30 menit, lebih banyak rombongan yang mendatangi tempat itu.

Ocean Flute and The Tourists

Sebelumnya, aku pernah melihat foto pantai Klayar dilihat dari tempat yang lebih tinggi. Lalu aku pun bertanya kepada seorang nelayan yang kebetulan saat itu sedang menunggui warungnya. Dari penjelasan nelayan itu, ditunjukkanlah jalan setapak yang tak begitu jauh memutar, hingga pada akhirnya sampai juga di atas bukit di sebelah utara titik tempat air menyembur itu. Yayayaya, memang itulah tempatnya. Dari tempat itu bisa dilihat ‘seruling samudera’, hamparan pasir putih Klayar dari kejauhan, dan pantai di sebelah timur pantai Klayar.

East of Klayar
Bagian sebelah timur dari Pantai Klayar.

Klayar seen from The East Hill
Pantai Klayar dilihat dari atas bukit di sebelah timur.

Setelah beberapa saat memuaskan hasrat menikmati pemandangan dari ketinggian, aku pun kembali turun dan menuju ‘penginapan’ lagi.

Before The Waves
Sebelum ombak menerjang pasir putih pantai.

Sebelum pukul 8 pagi, segala sesuatunya sudah siap. Namun sebelum pulang, sejenak waktu kuhabiskan mengobrol dengan Pak Sandimun. Dari obrolan itu, jadi tahu kalau salah seorang menantu Pak Sandimun adalah orang Jogja, dan tinggal di daerah Kotagede. Yayaya, mungkin itulah salah satu hal yang membuat Pak Sandimun kemudian menawarkan untuk menginap di tempatnya yang belum jadi, karena tahu aku juga dari Jogja.

Pak Sandimun
Pak Sandimun.

Yayayaya…..

Sekitar jam 9 pagi aku pun pulang. Tanjakan hampir sejauh 5 km sudah menanti. Dan memang kenyataannya, sepanjang 5 km menuju Kalak, aku memang lebih banyak nuntun sepeda daripada menaikinya. Nggak kuat…..

Awal perjalanan pulang hari itu dipenuhi tanjakan dan turunan yang terlalu keren. Baru setelah sampai Giribelah (lagi), rasanya sudah sedikit lebih lega. Hari itu, aku mengambil jalur pulang yang berbeda. Saat berangkat sehari sebelumnya, aku lewat Wonosari dan kemudian tembus ke Pracimantoro. Hari itu, dari Pracimantoro menuju Wonogiri. Meskipun jaraknya lebih jauuuh, namun tanjakan dan turunan jauh banyak berkurang.

Near Gajahmungkur
Pemandangan di perjalanan pulang. Sebagian kecil dari Waduk Gajahmungkur dan bukit yang pada akhirnya masuk wilayang Gunungkidul.

Sore itu, 1 Februari menjelang malam Minggu, sekitar menjelang maghrib, aku sampai juga di daerah Cawas. Wouwouwouwo, rasanya lega, meskipun untuk sampai Jogja masih jauh. Namun dari situ sudah bisa dipastikan titik-titik istirahat selanjutnya (Bayat, Wedi, Srowot, Prambanan), hingga akhirnya Jogja. Sampai…..

10 thoughts on “Klayar, yang Tertunda

  1. kereeeennnn … ke Klayar sendiriannn. empat jempooolll
    btw, bulan September 2011 — masih sangat kinyis-kinyis dalam pengalaman berbikepacking — aku dan Ranz gowes ke Pantai Nampu, lewat Pracimantoro – Giribelah. Sesampai Giribelah (setelah malam sebelumnya menginap di Pracimantoro), aku sudah klenger hanya dengan melihat tanjakan yang mematahhatikan. hahahaha …

    Like

    • Khkhkhkh… Dan yang terakhir kemarin itu adalah ke-tiga kali-nya aku lewat Praci-Giribelah, Mbak. Perempatan Giribelah yang ke selatan itu memang terlalu keren tanjakannya. Indah….. Padahal dari situ, kalo mau ke Pantai Nampu pun masih jauh bangeud.

      Like

  2. Pingback: Sekedar Niat ke Pantai Klayar | Denmas Brindhil - Situsé

  3. Pingback: Sunrise – Turnamen Foto Perjalanan ronde 58 | Denmas Brindhil - Situsé

  4. Pingback: Bike Njagong Ponjong | Denmas Brindhil - Situsé

Leave a comment