Selo ‘Clockwise’


20130323

Berangkat

‘Clockwise’ alias searah jarum jam. Ya, memang demikian istilah yang dipakai di sebuah lintasan balap, putaran saat melalui lintasan tersebut. Searah jarum jam, atau berlawanan arah jarum jam.

Selo, sebuah daerah di antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi, bisa dijangkau dari barat melalui daerah Muntilan atau Blabak, atau dari timur melalui daerah Boyolali. Kali ini, baru pertama kalinya, aku mencoba ke Selo melalui sisi barat, yaitu lewat Muntilan ke arah Ketep, dan kemudian ke Selo.

Seperti pada umumnya saat melewati jalan raya Jogja-Magelang, mulai dari Sleman sampai kota Muntilan, bisa dicapai dalam waktu antara 1,5-2 jam bersepeda. Petunjuk utama untuk berbelok adalah saat menjumpai Klenteng satu-satunya yang ada di Muntilan. Dari situ, kemudian mulai dengan jalanan aspal yang tanjakannya lebih curam dari sepanjang Jogja-Magelang, namun masih bisa diakomodasi oleh dengkul.

Delapan kilometer awal dari Muntilan, sampai di Pasar Talun, kecamatan Dukun. Dari situ masih berlanjut sekitar 10 km lagi untuk sampai Ketep Pass, obyek wisata yang cukup terkenal di Kabupaten Magelang. Setelah melewati jembatan Tlatar, yang sudah berupa jembatan baru, setelah sebelumnya hancur akibat lahar dingin 2010, sampai juga di pertigaan Sawangan. Dari tempat tersebut, tinggal 5 km lagi untuk sampai Ketep.

Ternyata 5 kilometer itulah yang menurutku jalan yang paling berat dilewati untuk sampai Ketep. Sekitar 3-4 kali aku berhenti di pinggir jalan, sejenak, sembari menghela nafas dan menyeruput air putih di bidon. Benar-benar luar biasa.

Targetku, sekitar waktu azan dzuhur aku sudah bisa sampai di Selo, seperti halnya saat naik ke Selo melalui sisi timur. Namun, pukul 10.o0 aku baru sampai di Ketep, dan kemudian istirahat agak lama, karena memang capek setelah melewati tanjakan yang luar biasa. Sekitar pukul 10.30, mungkin lewat sedikit, kulanjutkan kayuhan untuk sampai ke Selo.

Ketep-Selo berjarak sekitar 15 km. 2 km awal dari Ketep akan dijumpai turunan yang lumayan panjang, yang kemudian akan ditemuai secara berturut-turut sedikit turunan, jembatan kecil dengan jalan yang berbelok ke kanan, dan tanjakan yang lumayan panjang. Entah berapa kali ditemuai jalan seperti itu. Hingga akhirnya, sekitar 2 km menjelang sampai Selo, jalanan sudah mulai datar.

Sepanjang 15 km dari Ketep menuju Selo, pemandangan yang diberikan Tuhan memang luar biasa. Untungnya, saat itu cuaca cerah dan juga masih musim penghujan. Semapt berhenti sejenak di tepi jalan untuk menikmati indahnya air terjun yang tak terlalu besar, sekitar 3-4 km sebelum sampai Selo. Sebenarnya bisa juga sejenak menyegarkan diri dengan mandi di bawah guyuran air terjun itu, namun mengingat waktu yang terus berlalu dan target yang ingin kucapai.

Pemandangan Gunung Merbabu
View of Mt. Merapi

Air terjun kecil menjelang sampai Selo.
The Unknown waterfall

Puncak Merbabu yang hari itu selalu tertutup awan mendung.
Landscape of Mount Merbabu

Sekitar pukul 12.30 akhirnya aku sampai juga di Selo, dan langsung menuju warung makan Barokah, warung makan yang sejak pertama kali main ke Selo selalu mampir di warung itu. Sang ibu pemilik warung pun sampai hafal.

Warung langganan.
The Place Where I Usually Come By

Pulang

Jam dinding di warung menunjukkan pukul 13.30. Aku kemudian berpamitan dengan si ibu pemilik warung dan turun. Turun, memang turun dari Selo menuju Cepogo, turun ke arah timur. Jarak 9 km hanya membutuhkan waktu 20 menit saja. Tentu saja dengan penuh kehati-hatian karena jalanan yang menurun dan berkelok-kelok. Di beberapa bagian jalan malah ada yang aspalnya berlubang.

Sejenak mengamati jarak yang tertera di cyclometer, sampai di Cepogo, aku langsung melaju lagi menuju pertigaan kecil yang akan menuju Musuk. Sekitar 3 km dari Cepogo, perlu perhatian lebih di sebelah selatan jalan raya, ada pertigaan dengan tugu kecil. Di pertigaan itulah aku berbelok dan menuju Musuk.

Tak lama, sampai juga di Musuk. Beberapa saat setelah Musuk, melewati jalanan di tengah desa yang sepi, namun sangat halus, terdapat turunan panjang. Kecepatan maksimal saat itu adalah 74,9 km/jam. Etape setelah Musuk dan menuju Pasar Kembang inilah, etape yang lumayan panjang (sekitar 20 km), dengan jalanan yang bisa dianggap rusak karena digunakan sebagai jalan utama truk pengangkut material dari gunung Merapi. Sepedaku yang berporok rigid memberi sensasi berbeda saat melahap jalanan penuh debu dan kerikil. Beberapa kali aku harus berhenti karena tak tahan dengan debu yang mengepul dari jalanan saat truk bermuatan penuh melewatinya.

Maximum Speed!! Jangan ditiru…
Maximum Speed

Saat yang melegakan adalah saat setelah melewati Pasar Kembang dan menuju Manisrenggo dan akhirnya tembus ke jalan raya Jogja-Solo di daerah Bogem, dekat Prambanan. Sepanjang jalan raya Jogja-Solo, dari Bogem sampai masuk wilayah kota Jogja, kecepatan sepeda bisa sepuasnya, sekuat tenaga kita. Hingga akhirnya, pukul 16.45 aku sampai juga di rumah. Sekitar 131 km total perjalanan.

Sayang, tak banyak gambar yang kuambil sepanjang perjalanan kali ini.

Bagaimanapun, nikmati…

9 thoughts on “Selo ‘Clockwise’

    • Makanya jangan ditiru, Mas. Khkhkh. Itu curug dari jalan aspal sekitar 30 meter. Waktu itu lumayan, masih bisa buat mandi di bawahnya.

      Like

  1. wowww….jadi pengin lewat selo nich.. dulu th 2004 pernah lewat tapi ngawal, numpang boil orang.
    rencana tgl 24 Mei 2013 . Mo sepedaan dari Pbg – Yogya. mudah2an kelaksanan. Amiiin..

    Like

    • Kalau Muntilan-Ketep-Selo dan Selo-Cepogo-Boyolali saya kira aman & asyik-asyik saja kalau pakai road bike. Cuma kalo dari Cepogo terus belok menuju Manisrenggo-nya itu yang saya nggak menyarankan pakai road bike. :D Makasih.

      Like

  2. Pingback: Selo, Menjelang 17an | Denmas Brindhil - Situsé

  3. Pingback: Selo untuk kesekian kalinya | Denmas Brindhil - Situsé

Leave a reply to mawi wijna Cancel reply