Tanpa Rencana, sampai Sidoarjo #1


20120604-09

Tanpa rencana, tapi malah bisa tercapai dengan lancar. Mungkin itu yang bisa dikatakan dari perjalanan ke Sidoarjo ini. Keinginan yang tiba-tiba muncul di hari Kamis, 31 Mei 2012, akhirnya dimulai di hari Senin, 4 Juni 2012.

Berdasarkan pengalaman dari teman yang pernah ke Ngawi dan Surabaya, juga berdasar peta di Atlas dan GoogleMaps, rencananya adalah 2 hari perjalanan sudah bisa sampai Sidoarjo. Hari pertama dimulai dari Yogyakarta sampai ke Ngawi, dengan jarak sekitar 150 km. Hari kedua dari Ngawi sampai Sidoarjo, berjarak sekitar 170 km. Sedangkan rencana pulangnya nanti juga dengan etape atau tempat berhenti yang sama.

Berangkat

Hari Senin pagi, 4 Juni 2012, aku berangkat dari Kalasan. Rute yang akan ditempuh pun sudah jelas. Dari Kalasan, ke Klaten, Kartasura, Solo, kemudian ke Sragen, melewati perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur di Mantingan dan akhirnya sampai Ngawi.

Jalanan yang dilewati pun kebanyakan jalan datar. Variasi tanjakan dan turunan hanya sedikit, tak terlalu ekstrem, dan tak layak disebut tanjakan.

Di Klaten, aku sempat berhenti sebentar di seberang alun-alun. Masih pagi, saat itu sekitar pukul 08.00. Meskipun cahaya matahari bersinar terang, tapi masih belum terlalu berasa panas teriknya.

Sampai di Kartasura, aku pun sarapan di warung soto yang dulu saat sepedaan ke Gunung Kemukus juga mampir di tempat itu. Saat itu sudah pukul 09.30. Sampai pukul 10 lewat sedikit, aku pun melanjutkan kayuhan ke arah kota Solo, yang jaraknya tak sampai 10 km dari Kartasura.

Entah melewati jalan mana saja saat di Solo, akhirnya aku lewat juga kota itu. Karena tak terlalu paham seluk beluk kota Solo, aku hanya mengandalkan papan penunjuk arah yang biasanya terpampang di dekat persimpangan. Alhasil, kurasa aku pun sedikit berputar-putar di kota itu. Padahal sebenarnya ada jalan yang lebih dekat daripada yang kulewati.

Melaju ke arah timur (jika tak salah), melewati pintu depan kampus UNS (Universitas Sebelas Maret), lalu melewati Taman Jurug di dekat persimpangan yang berputar-putar, ada arah menuju Wonogiri, Sragen, Sukoharjo, dan sebagainya. Sampai di Palur, yang sudah masuk wilayah kabupaten Karanganyar, ingatan lamaku kembali muncul. Jika lurus ke timur akan ke kota Karanganyar, dan bisa ke Tawangmangu juga. Sedangkan ke arah kiri menuju kota Sragen.

Selepas tengah hari, baru terasa panas menyengat sang matahari. Aku pun sampai di Sragen kota. Karena panasnya, penjual sari kacang hijau pun membuatku tergoda. Sejenak berhenti, menikmati dinginnya minuman sari kacang hijau dan mengistirahatkan badan dan juga sepeda. Beberapa kilometer dari kota Sragen, aku juga berhenti sejenak di sebuah SPBU untuk mendinginkan ban sepedaku, yang mungkin terasa panas karena aspal yang mungkin panas pula, juga untuk mencegah bocor atau meletusnya ban.

Jalanan dari Palur, Sragen dan keluar kota Sragen menuju arah Mantingan hampir sama. Meskipun tampaknya halus, namun untuk sepeda mungkin agak sedikit menyiksa, karena kadang ada tambalan aspal yang tidak rata, terlalu menonjol atau terlalu dalam, apalagi ditambah dengan beban pannier di rak belakang yang cukup berat. Kendaraan umum, terutama bus antar kota patut diwaspadai, karena bisa dibilang seenaknya sendiri menggunakan jalan.

Sekitar pukul 14.00, aku pun sampai perbatasan provinsi di Mantingan. Kuambil beberapa jepretan kamera dan sempat pula istirahat di sebuah warung waralaba terdekat untuk membeli air minum. Saat kurasa cukup beristirahat, perjalanan pun dilanjutkan : memasuki hutan Mantingan…

Sragen-Ngawi border Gate

Closing to The East Java Gate

Mantingan-Ngawi ternyata cukup jauh. Jarak sejauh 38,8 km tercatat di speedometerku. Meskipun masih ada sebagian tempat yang di kanan-kiri jalan terdapat perkampungan penduduk, naum kebanyakan adalah hutan sekunder atau hutan produksi, yang ditanami pohon jati, mahoni, dll. Kontur jalanan pun lebih variatif dibanding Yogyakarta-Solo atau Solo-Sragen. Tanjakan dan turunan yang ada mengharuskan konsentrasi yang lebih dibanding sebelumnya. Sekitar 10 km menjelang kota Ngawi, jalanan menjadi rata, tanpa ada tanjakan/turunan yang berarti. Di kanan-kiri jalan sudah berganti menjadi ladang atau areal persawahan, pun banyak perkampungan penduduk.

22 km more to Ngawi

Sampai di perempatan Kartonyono, 2 km di selatan Ngawi kota, jam tanganku sudah menunjukkan pukul 16.45. Lumayan juga, hari itu sudah melahap 147,9 km. Mulai mengayuh sekitar pukul 06.30 dan 16.45 sampai Ngawi, sekitar 10 jam lebih sedikit, itu pun sudah termasuk istirahat selama di perjalanan.

Mas Moakh Danang yang sedang ada di Cepu kebetulan hari itu pas pulang ke Yogyakarta, dan di Ngawi pula kami berdua janjian untuk bertemu. Sekitar pukul 17.30 kami ketemu juga, tak jauh dari perempatan Kartonyono. Acara berikutnya dilanjutkan dengan kuliner sore menjelang malam : menu ‘nasi goreng mawut’, di sebuah warung nasi goreng terdekat.

Sembari ngobrol-ngobrol, juga melahap makan malam yang sudah tersaji, waktu pun berlalu. Pukul 18.45 Mas Danang berlanjut pulang ke Yogyakarta dan menuju ke terminal bus di Ngawi, sedangkan aku, sedikit mengayuh pedal ke timur untuk menginap di sebuah SPBU…

Malam pun tiba, istirahat untuk meneruskan sisa perjalanan esok hari…

Hari ke-2

Pagi hari, cuaca yang lumayan dingin melanda Ngawi. Kaos lengan panjang, celana pendek dan sarung yang kugunakan untuk ‘membungkus’ tubuhku tak cukup kuat menahan dinginnya pagi. Mungkin saat azan subuh, aku sudah terbangun dan masih merem-melek karena masih malas beranjak dari posisi tidur.

Setelah barang-barang bawaan kurapikan dan kupasang di sepeda, aku pun pamit pada para petugas SPBU yang sudah dengan baik hati membolehkan aku untuk tidur di teras depan kantornya. Aku pun tak lupa bilang kalau mungkin nanti ketika kembali ke Yogyakarta, aku juga akan menginap lagi di tempat itu.

Gang Kalasan (Kalasan st.)

Turn Right to go to Caruban

Gapura Madiun

Melihat pal penunjuk jarak di pinggir jalan, Ngawi-Caruban berjarak sekitar 30an km. Perkiraanku, paling bisa ditempuh dalam waktu sekitar 1,5-2 jam. Jalan antara Ngawi-Caruban kebanyakan datar, dengan ladang dan sawah di kanan kiri jalan. Jalannya memang datar, tapi kadang ada bagian jalan yang berlubang atau malah sedikit menonjol karena tambalan aspal. Sebagian kecil jalan sudah sangat halus, karena dekat dengan pusat keramaian ataupun kota kecamatan. Sekitar dua sampai tiga kota kecamatan ada di sepnjang 30an km itu, salah satunya Karangjati, sedangkan yang dua lainnya aku lupa namanya.

Caruban adalah kota kecamatan yang termasuk wilayah kabupaten Madiun. Meskipun hanya kota kecamatan, namun tak kalah ramai jika dibandingkan dengan ibukota kabupaten. Kota Caruban mungkin hampir mirip dengan Muntilan di Jawa Tengah, kota kecamatan namun terlewati oleh jalur antar kota antar provinsi, sehingga menjadi kota yang lumayan ramai. Aku memang tak melewati pusat kota Caruban, karena memang hanya lewat sebagian kecil dari kota, dan langsung menuju arah Nganjuk. Sekitar 1 km setelah kota Caruban,baru kemudian aku sarapan. Saat itu sekitar pukul 09.00, dan ternyata baru 30 km dari Ngawi. Padahal jarak yang harus ditempuh hari itu sekitar 160-170 km, 30 km belum ada apa-apanya.

Caruban-Nganjuk berjarak sekitar 30 km. Selepas Caruban, kita harus melewati hutan Saradan. Hampir mirip dengan hutan Mantingan, jalanan rolling naik dan turun saling berganti, namun jalannya sedikit lebih lebar dan lebih halus daripada di hutan Mantingan. Dari Caruban ke arah Nganjuk didominasi oleh jalanan menurun. Meskipun turunan, ternyata tak begitu terasa saat aku berangkat melewatinya. Selepas Saradan, mungkin sekitar 10an km menjelang Nganjuk, suasana menjadi lebih panas karena kiri-kanan jalan sudah berganti menjadi sawah-ladang dan beberapa perkampungan.

Taman Wisata Waduk Bening

Nganjuk 0 km.

Sekitar pukul 11.00 aku sampai di Nganjuk. Pun tak lupa untuk mengambil foto di Nganjuk 0 km. Sempat pula mampir di Indomaret untuk membeli air minum. Menurutku, Nganjuk adalah kota yang memanjang, lurus saja, mengikuti jalan raya antar kota yang melewati kota itu. Itu hanya pendapatku saja, mungkin aku yang tak terlalu menjelajahinya lebih lanjut. Di Nganjuk ini pula mulai terdapat penjual es sari tebu di pinggir jalan. Tak semahal di Yogyakarta. Di Nganjuk, satu gelas es sari tebu hanya seharga Rp. 1000,-. Karena saat itu siang hari dan dalam kondsi di tengah perjalanan bersepeda, aku tak berani meminta es yang banyak. Sedikit saja esnya, itu pun kutunggu hingga mencair.

Berikutnya adalah Kertosono. Kertosono juga adalah kota kecamatan yang terlewati jalur kendaraan antar kota di Jawa Timur, namun tak sebesar dan seramai Caruban. Nganjuk sampai Kertosono adalah jalur yang membosankan. Jalananya datar, tanpa ada tanjakan dan turunan. Pun lebar dan halus, itulah yang membuat bosan. Apalagi sepanjang kira-kira 23 km, di kanan-kiri jalan hanyalah sawah dan rel kereta api. Mulai setelah Nganjuk pula, setiap ada SPBU aku mampir sejenak untuk menyiram ban depan dan belakang sepedaku, agar lebih dingin dan mencegah pecah ban.

Jalan raya yang melewati Kertosono ternyata tak melewati pusat keramaiannya. Jalan dan jembatan baru lebih lebar dan halus dibanding jalan yang menuju pusat kota atau pasar Kertosono. Hal yang sedikit aneh adalah pal penunjuk arah 0 km Kertosono ada di dekat jembatan baru. Padahal biasanya pal 0 km ada di dekat pusat keramaian.

Kertosono-Jombang jaraknya tak terlalu jauh, hanya sekitar 15 km, hampir mirip jarak Yogyakarta-Prambanan. Jalannya kebanyakan datar, namun di beberapa tempat juga terdapat aspal yang menggulung, terutama aspal di bagian pinggir, mungkin karena seringnya terlewati kendaraan dengan beban yang berat. Bagi kendaraan bermotor, mungkin aspal yang menggulung itu tak terlalu berasa, tapi bagi sepeda hal itu teras menyiksa.

Ternyata Jombang adalah kota yang panas, menurutku. Mungkin saat itu memang sedang teriknya. Aku sampai Jombang sekitar pukul 14.00. Di Jombang kota ada jalan yang searah, jadi terpaksa harus sedikit memutar melewati jalur kendaraan bermotor pada umumnya. Sayangnya, aku kebablasan sampai mengikuti jalur bus. Mungkin karena jalur bus itu pula, meskipun jalan aspal, banyak tambalan dan beberapa lubang di sana sini, apalgi di aspal bagian pinggir. Parah.

Setelah Jombang, berikutnya adalah Mojokerto. Sedikit keluar dari kota Jombang, aku disambut dengan banyaknya debu beterbangan karena sedang dibangun jalan layang di timur kota, sehingga nantinya kendaraan umum tak perlu lagi melewati perlintasan kereta api. Kalau di Yogyakarta, mungkin mirip jembatan layang Lempuyangan atau jembatan Janti.

Jombang-Mojokerto berjarak antara 25-30 km. Aku tak terlalu tahu pasti, karena aku tak terlalu memerhatikan di mana letak 0 km tiap kota. Sepanjang 20an km itu, hampir setiap ada SPBU aku mampir. Lagi-lagi dengan hal yang sama seperti setelah kota Nganjuk, menyiram ban untuk mendinginkannya. Jombang=Mojokerto adalah bagian dengan suhu paling panas sepanjang perjalanan. Kecepatan rata-rata mungkin antara 15-20 km/jam.

Mulai memasuki wilayah Mojokerto, setelah melewati daerah Mojoagung dan Trowulan, aku mulai berkirim pesan singkat pada Om Hendrik Boboho, seorang Federalis Mojokerto yang katanya mau menyambut beberapa saat sebelum masuk kota Mojokerto. Hampir pukul 16.00, aku sampai di persimpangan by-pass Mojokerto. Om Boboho sudah menunggu di pos polisi di persimpangan. Tak lama, kami pun mulai ngobrol ke sini dan ke sana.

With Hendrik Boboho

Om Boboho mengajakku ke warung makan terdekat. Alhamdulillah, setelah perjalanan yang sangat panjang, hampir atau lebih sedikit dari 100 km hari itu. Semabri saling ngobrol, sembari melepas lelah pula. Hampir satu jam kami berdua menikmati hidangan dan ngobrol, tak terasa waktu sudah hampir maghrib, dan kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan ke arah Sidoarjo. Om Boboho kembali ke arah Mojokerto kota, aku terus ke timur menuju Krian, kemudian Sidoarjo.

Dari by-pass Mojokerto, Krian masih 24 km lagi. Masih jauh. Saat maghrib tiba, kuputuskan untuk berhenti sejenak di SPBU sebelah barat Balongbendo, sudah masuk wilayah Sidoarjo, di tempat itu, kira-kira Krian masih 7 km lagi.

Setelah masuk wilayah kabupaten Sidoarjo, jalanan aspal lebih mulus daripada sebelumnya. Mungkin karena waktu yang mulai sore, suhu menjadi lebih dingin dan lebih segar, sehingga kadang aku bisa memacu sepedaku sampai 25-30 km/jam.

Beberapa kilometer menjelang Krian, aku sempat beberapa kali bertanya pada orang arah menuju Sidoarjo, agar tak lagi-lagi kebablasan. Sampai di jalan menuju Sidoarjo, terlihat di pal penunjuk jarak di tepi jalan, Sidoarjo masih 16 km. Untungnya saat itu sudah petang, sehingga hawanya lebih dingin.

Sehari sebelumnya, saat menginap semalam di Ngawi, aku sempat berkirim pesan singkat pada Cak Wawa Nakamurawa, Federalis Sidoarjo yang dulu pernah bersepeda lewat kota Yogyakarta juga. Hari itu, mulai tengah hari sampai menjelang Sidoarjo, kami lebih sering lagi berkirim pesan singkat. Dan ternyata, menjelang masuk kota Sidoarjo, Cak Wawa sudah menungguku di dekat masjid, entah masjid apa namanya. Kemudian, dia pun mengajakku sedikit berkeliling kota Sidoarjo di malam hari. Akhirnya, hampir mirip dengan Om Boboho, mampir di warung bubur kacang hijau. Lagi-lagi, alhamdulillah. Lagi-lagi tambah saudara di perjalanan. Jam di tanganku menunjukkan sekitar pukul 19.20 saat itu, saat-saat setelah isya’.

With Cak Wawa

Karena saking asyiknya ngobrol, aku sampai lupa untuk memberi kabar pamanku bahwa aku sudah sampai Sidoarjo. Sampai kemudian pamanku telepon dan kuberitahu sedang di mana aku saat itu. Tak beberapa lama, pamanku dan adikku menjemput dengan sepeda motor. Hampir pukul 21.00 saat itu, kami pun keluar dari warung. Aku lalu ke rumah pamanku, dan pamitan dengan Cak Wawa yang malamnya akan naik ke Semeru. Ternyata, rumah Cak Wawa hampir satu kampung dengan rumah pamanku, tak terlalu jauh.

Akhirnya sampai juga di Sidoarjo…

Berikut adalah jalur yang kulewati…

27 thoughts on “Tanpa Rencana, sampai Sidoarjo #1

  1. Hallo salam kenal mas,

    Ingin bertanya, untuk menempuh perjalanan sendirian spt anda, persiapan apa saja yang perlu dilakukan? Mulai dari kondisi sepeda, perlu membawa alat-alat dan onderdil cadangan, tekanan ban, antisipasi keramaian lalu lintas, kriminalitas jalanan, penginapan, MCK dan seterusnya…..
    Saya ingin juga solo-cycling Sidoarjo-jogja, Terima kasih banyak bila sudi menanggapi. Salam!

    Like

    • Halo salam kenal juga Mas..

      Mungkin Mas sudah membaca cerita saya, bahwa saat saya ke Sidoarjo kemarin ini hanya kepikiran antara 3-4 hari sebelum berangkat. Tentang persiapan, ini menurut saya lho, Mas. Fisik jelas. Artinya sudah punya kebiasaan untuk sepedaan, setiap hari, meskipun hanya untuk pergi ke warung atau iseng-iseng muter kota sebentar di sore hari. Sekali-kali juga mungkin pernah melakukan perjalanan dengan jarak antara 60-100 km dalam satu hari itu.
      Selain fisik, niat juga harus ada. Karena katanya, segala sesuatunya dimulai dari niat.
      Tentang sepeda, bisa Mas lihat di bagian ‘Gears’ dari blog ini. Itu sepeda saya Mas. Untuk spesifikasi sepeda, saya rasa itu tergantung kesukaan dari si pengendara. Ada peturing yang memang menggunakan benar-benar sepeda touring, semisal ‘Surly’, atau ada juga yang menggunakan sepeda MTB model sekarang, dengan ukuran ban yang besar dan suspensi di porok depan. Akan lebih baik jika kita mengecek sepeda kita ke bengkel yang benar-benar teruji, atau paling tidak bengkel sepeda langganan kita, yang bisa memberi kepastian apakah sepeda punya kita layak digunakan atau tidak.
      Alat-alat tentu harus bawa. Kalau saya hanya membawa kunci-kunci yang sering dibutuhkan saja, semisal kunci L, beberapa kunci pas, tang, obeng dan alat jugil ban. Selain itu juga ban dalam cadangan, kalau sewaktu-waktu ada kebocoran di tengah jalan. Sayangnya, sampai saat ini, saya belum punya yang namanya pompa ban. Soal tekanan ban, saya tak terlalu memerhatikannya, asalkan kira-kira cukup kuat untuk menampung beban tubuh dan barang bawaan.
      lalu lintas itu untuk dinikmati, Mas. Kadang kalau pas sepi, kita akan merasa sangat sendirian. Tapi kalau terlalu ramai, kadang bisa bikin marah juga, karena kendaraan bermotor yang ‘buang angin’ seenaknya.
      Soal inap-menginap, saya punya prinsip ‘nggembel’, Mas. Semakin kita bisa menyatu dengan lingkungan di mana kita berada, maka akan semakin aman.
      Untuk di pulau Jawa, soal MCK, mungkin kita masih bisa mengandalkan adanya POM bensin di sepanjang jalan. Seperti yang kita tahu, banyak POM bensin yang fasilitasnya cukup lengkap. Selain bisa MCK, kita juga bisa numpang tidur.

      Mungkin seperti itu Mas, pendapat saya. Ditunggu sampainya di Jogja. Untuk keterangan lebih lanjut, mungkin kita bisa saling berkirim e-mail, Mas. Maturnuwun.

      Salam gowes..

      Like

      • Trims untuk uraiannya mas (eh aku pantesnya manggil kamu dek saja).
        OK, insya Allah desember saya ke jogja dengan sepeda. Oh ya, aku aseli gamping sleman tapi merantau ke sidoarjo dan ngomong-ngomong, rumah pamanmu di sda itu dekat dengan rumahku sekarang.

        Salam gowezz!

        Like

  2. Salam kenal bro…
    Saat ini saya sedang merencanakan untuk solo cycling ke Jawa Timur juga. Saya akan start dari Godean, Sleman. Need suggestion ni bro… Saya akan pakai folding bike. fiturnya standar, merk elemen. solo cycling sebelumnya saya ke arah barat, ke Purbalingga Jawa Tengah. di speedometer saya tercatat 206km, saya tempuh mulai jam 5 pagi sampai jam 6.30 sore tapi waktu itu saya pakai polygon bike to work.
    Besok tujuan saya adalah Surabaya bro. Rencana hari pertama Jogja – Maospati. Hari ke-2 Maospati – Surabaya. Mohon sarannya atau pertimbangan apapun mengingat saya tidak terlalu menguasai jalanan ke timur, terutama Kertosono – Surabaya.
    Terimakasih

    Like

    • Santai saja Masbro. Kalo saya kemarin sampai Ngawi sore, sekitar jam 16.30. Kalo mau dilanjut Maospati boleh lah. Kalo nggak salah kan jaraknya nggak sampai 20 km ya?! Maksimal maghrib udah bisa sampai Maospati. Asal gowes santai, nggak terlalu ‘ngoyo’ dan nggak terlalu santai juga. Boleh kenceng, asal kayuhan masih terasa enteng. Kalo kenceng tapi napas sampai ngos-ngosan, itu artinya terlalu kenceng. Gitu aja Mas. Bagaimana?! Makasih juga. Enjoy your ride..

      Like

  3. Thanks for the suggestions Mas Bro…
    Akhir Desember kemarin Alhamdulillah berhasil gowes sampai Suramadu. Sayang dari rencana 5 hari pulang pergi Jogja – Suramadu – Jogja hanya tertempuh Jogja – Suramadu saja, itupun tertempuh dalam 4 hari (Ini juga karena faktor ngepasin tempat singgah saya) . H-1 keberangkatan pedal saya rusak harus ganti satu set sekalian gear depan. sayangnya saya gak perhitungin ukurannya yang ternyata lebih kecil dari sebelumnya. Perhituungan jadi meleset. Karena waktu yang terbatas, pulang ke Jogja pun sepeda saya loading ke Bus.
    Anyway, pengalaman yang sangat berharga karena selama ini saya kurang menguasai part sepeda…

    Like

  4. malam mas
    menarik sekali membaca perjalanan bersepeda ke sidoarjo,perkenalkan nama sy Agus alamat puowomartani kalasan mungkin tetangga anda.Kalau tidak keberatan sy ingin meminta advis tentang bersepeda jaral jauh atau mungkin kita bisa bertemu shg bisa berdiskusi tentang touring.Rencana sy akan gowes dari surabaya ke jogjakarta rouete yg hampir sama dgn anda.seandainya tidak keberatan sy minta alamat anda atau nomer telepon untuk berkomunikasi.
    Terima kasih

    Like

  5. wajahmu yang mana mas orangnya..?maaf nanya…,jadi ter inspirasi ni.karena saya juga pingin jalan-jalan sendirian ke yogyakarta ,saya dari surabaya !!!

    Like

  6. mas, saya nuryanti.. mahasiswa FKIP UNS, kuliahnya di tempat mas nyasar di cerita ini.. hehe, aku pengen mudik mas, ke madiun, nyoba naik sepeda, naik bis umum padet banget, jadi males dan takut batal puasa krn mabok perjalanan.. kan aku cewek ya.. solo madiun kira2 berapa hari mas? la persiapannya apa aja ? kan ini bulan puasa juga.. gek speda saya gear nya mung satu, sepeda mini phoenix, jadi bkan sepeda touring. ada saran atau tips g mas?

    Like

    • Wehehehe, maaf rada telat saya balesnya. Taun 2012 kemarin, saya pernah nganter temen saya yang mau sepedaan dari Jogja ke Jakarta. Cewek juga. Memang sebelumnya kami sudah saling kenal dan ketemu. Cuma selama kenal itu nggak pernah membahas macam/jenis sepedanya. Nah, saat nganter itulah baru lihat pertama kali sepedanya. Apa coba sepedanya? Ternyata yang dipakainya adalah sepeda model jengki punyanya Polyg*n, sesederhana itu.. Dengan keranjang juga di bagian depannya. Dan selama perjalanan ke Jakarta itu yang dibawanya cuma sebuah tas punggung yang ukurannya agak besar, yang kadang ditaruh di keranjang depan, kadang digendongnya. Dan, dalam seminggu bisa sampai Jakarta. Jadi? Bisa jadi inspirasi? :D

      Soal persiapan, kalau dibilang banyak ya banyak dan butuh, kalau dibilang ‘cuma’ ya ‘cuma’. Fisik jelas. Paling nggak sudah biasa sepedaan. Lebih baik lagi kalau pernah sekali – dua kali – tiga kali sepedaan ke tempat yang agak jauh. Mental juga harus. Coba gimana rasanya kalau tiba-tiba mak whuzzz disalip bus AKAP? Hehehe. Selain itu mental suka mbolang atau dolan alias bertualang. Halah. Kalau nggak suka dolan, mana mungkin kamu punya niatan mudik nyepeda to? Solo – Madiun kalau santai atau malah santai banget ya antara 2-3 hari lah. Semoga membantu… :D

      Like

      • hehe.. iya mas.. kemarin sudah terlaksana rencana saya. alhamdulillah puasa tetep lancar, tanggal 24-25 juli kemarin. ya walaupun harus sering mandi, soale panas banget mas.. tanpa makan dan minum di siang hari, sebuah perjuangan yang tidak mudah, tapi saya bisa. alhamdulillah kemarin nggowesnya agak santai, dimulai jam 6 pagi, intirahat di masjid waktu ashar jam 3 an, itu sudah sampai ngawi kota mas.. dan saya nginep di masjid itu, kebetulan sudah masuk 10 hari terakhir ramadhan jadi banyak juga ibu2 yang iktikaf di masjid, jadi ada temennya, besoknya saya lanjut lagi lewat karangjati, pilangkenceng dan sampai di rumah di kecamatan saradan madiun.. kalo tidak salah sampai rumah jam 9 pagi. disalip bus akap rasanya oleng banget mas, apalagi kalo di klakson mak tin tiiiiiiiin, wuuuh, sensasinya subhanallah banget… dan perjalanan itu i’m alone.. sendirian mas, makasih ya mas, udah ngasih banyak inspirasi, dan ternyata aku juga bisa..:)

        Like

  7. Dayu Mas TOur | Tour & Travel | P. Sidokare Asri QQ.2 – Sidoarjo

    Kami melayai :
    1. Tour perjalanan wisata / study tour ( instansi, komunitas, sekolah, dan pribadi ) ke seluruh jawa & bali
    2. Tour Adventures ( rafting, hiking & senorkling )
    2. Persewaan ( Efl short / long, Bus Pariwisata )
    3. Pemesanan tiket pesawat.

    **
    – Konsultasi perjalanan gratis.
    – Tentukan wisata sesuai degan buget.
    – Tidak ada jumlah minimal peserta.

    Hubungi kami di :
    Tlp. 081235618281
    Pin. 54E0B852
    http://www.dayumastour.com

    Like

  8. salam bikers
    sy merencanakan gowes antar kota antar propinsi& antar pulau pada awal Juni yad, sebelumnya sy akan ikuti saran mas Ditya untuk mebiasakan gowes 100 km dalam sehari ini saran yg bagus karena selama ini paling jauh sy gowes baru 50 km dlm satu tripnya, sy juga akan ikutu mas Ditya utk tidur di SPBU atau Polsek utk menekan budged kayaknya ok nih, rencana rute gowes saya adalah Cilegon Banten tempat sy tinggal menuju P komodo/ Florwes, mohon dukungan doa teman2 bikers, thks

    Like

  9. sehubungan dg rencana gowes jauh… sy lg mikirin gimana bawa barang2 spt pakaian, alat sepeda alat mandi dll, sy amati cara mas Ditya mengemas barang bawaannya dan sy lg merangcang model tas kalu mungkin sy jahit sendiri tp kalau gagal bawa ke penjahit, lg coret2 bikin desain eh istri nyeletuk ngapain susah2 bikin tas segala pakai aja tuh box motor ngapain dibeli kalau ujung2nya cmn ditaruh doang sy diam dan nberpikir ada benarnya juga kata istri kemudian sy ambil 2 box givi kanan/kiri yg atas gak karena kegedean box tsb sudah berdebu digudang nganggur sdh 4 tahunan kalau gak salah sy beli bok tsbt buat mtr tiger dipakai sekitar setahun bukan bosen sih lebih karena ribed jadinya dilepas seharian sy ngoprek pasang box tsb di sepeda sy moga nantinya bermanfaat saat gowes long distance, ada yg mau gabung pls contact at 08115003600 or pin BB 7A147590

    Like

    • Tenang Mas. Nomer hapenya saya catet. Ya kalo jadi kabar-kabaran ya Mas. Di sepanjang jalan sekarang udah banyak komunitas sepeda kok. Apalagi di kota-kota besar (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya), di beberapa kota kecil juga udah ada. Bahkan ada yang menawarkan basecampnya buat jadi tempat singgah pesepeda yang lagi sepedaan jarak jauh.

      Ada akun Facebook, Mas?

      Kalo buat bawa barang bawaan, sebenernya sekarang udah banyak yang jual tas pannier, mau yang produk lokal atau yang dari luar. Kalo lebih deket ke ibukota berarti lebih gampang aksesnya buat dapet itu perlengkapan turing itu Mas. Hehehee. Saya aja kadang masih pinjem temen yang udah punya yang lebih mumpuni. Hehee.

      Like

Leave a comment