257,9 km, 2 malam 1 hari, 3 provinsi – Pacitan


20111107

Ini rician jarak yang ditempuh dari satu tempat ke tempat berikutnya :
Sagan – Ayam Goreng Suharti, Janti : 5,4 km
Ayam Goreng Suharti – Perempatan sebelum Gading, Playen : 29,3 km
Perempatan sebelum Gading – Museum Karst Indonesia : 32,1 km
Museum Karst Indonesia – Giribelah (masuk Wonogiri) : 12,4 km
Giribelah – Pantai Teleng Ria, Pacitan : 46,4 km
Pantai Teleng Ria – kota Pacitan : 4,3 km
Kota Pacitan – Pertigaan Bliruk, Donorojo (via tanjakan Sedeng) : 19,5 km
Pertigaan Bliruk – HIK Mas Adi, Eromoko (via nyebrang waduk) : 33,1 km
HIK Mas Adi – Bayat : 36,9 km
Bayat – Pertigaan Pasar Wedi : 11,6 km
Pertigaan Pasar Wedi – Sagan (via stasiun Srowot) : 26,9 km
Total jarak tempuh Jogja – Pacitan – Jogja : 257,9 km

Minggu, 6 November 2011

Kami bersepuluh, Pak Bambang Celeban, Pak Sarbini, Mbah Dar, Mas Pardi, aku, Kang Supri, Pak Giman, Pak Slamet, Pak Topo Wagimin dan Pak Pepi, memluai perjalanan dari Jogja sekitar jam 4 sore pada hari Minggu 6 November. Sekitar jam 18.30, kami sudah sampai di perempatan sebelum Gading menuju ke Wonosari. Di situ, beberapa dari kami ada yang istirahat sekaligus salat magrib dan isya. Selain itu, kami juga makan malam di sebuah warung masakan Padang.

Selepas isya, kami melanjutkan perjalanan ke kota Wonosari. Kota Wonosari hanya kami lewati, dan berlanjut ke Semanu dan Ponjong. Jalanan menuju Ponjong sudah halus dan mulus, juga cukup lebar, karena jalan itu juga jalan menuju ke Jawa Tengah (Pracimantoro) dan bisa juga tembus ke Jawa Timur (Pacitan). Di Bedoyo, Ponjong, kami sempat beristirahat sebentar sembari menunggu anggota rombongan yang masih tertinggal di belakang.

Di pertigaan Bedoyo, kami mengambil arah ke timur, menuju Pracimantoro. Jalanan yang kami lewati lebih sempit dan lebih bergelombang jika dibandingkan dengan jalanan sebelumnya dan yang ke arah selatan menuju Pantai Sadeng. Jalanan yang naik turun, pun bergelombang, ditemani gelapnya malam karena jarang ada rumah penduduk di sekitar tempat itu. Setelah beberapa kali melewati tanjakan, akhirnya tiba juga di turunan. Dan ketika jalan mulai mendatar, kami sampai di Museum Karst Indonesia, yang sudah masuk wilayah Wonogiri, Jawa Tengah. Kalau tidak salah, saat itu sekitar jam 21.00. Sekitar 30 menit kami bersepuluh beriostirahat di situ sebelum akhirnya meneurskan perjalanan ke Pracimantoro dan Giribelah.

Ternyata, dari Museum Karst Indonesia ke pasar Praci itu tidak terlalu jauh, dan Pak Bambang memutuskan untuk langsung berlanjut ke Giribelah. Di Giribelah inilah tempat terakhir sebelum masuk ke jalan alternatif menuju Jawa Timur. Dari perempatan Giribelah ke arah timur, jalannya lebih sempit dan langsung dihadapkan dengan tanjakan panjang. Di tempat ini tidak terlalu gelap seperti sebelum sampi di Museum Karst Indonesia, karena di kanan kiri jalan setelah Giribelah ini adalah bukit dan ladang yang terbuka, jarang ditemuai pepohonan yang rimbun.

Dari Giribelah, kami beranjak sekitar jam 22.00. Entah berapa lama kami menikmati sajian tanjakan yang ada, dengan beberapa kali berhenti untuk beristirahat dan menunggu rombongan yang ada di belakang, hingga akhirnya jalanan menjadi lebih halus dan lebih lebar dari sebelumnya. Tidak jauh dari awal jalanan yang halus itu, ada gapura besar yang ternyata bertuliskan “Selamat Datang di Bumi Kelahiran Presiden”, yang artinya kami sudah masuk wilayah Jawa Timur, tepatnya kecamatan Donorojo. Pak Bambang yang berada di depan akhirnya menemukan tempat yang cocok untuk kami semua sebentar melepas lelah dan tidur. Saat itu tepat pukul 12 malam.

Senin, 7 November 2011

Dari perempatan Giribelah sampai di tempat kami tidur ternyata berjarak sekitar 8 km, mayoritas tanjakan. Menjelang subuh, sekitar jam 03.30, beberapa dari kami sudah terbangun dari tidur dan membangunkan yang lain dari tidurnya. Saatnya melanjutkan perjalanan ke arah Pacitan. Udara dini hari sangat dingin, sampai aku pun menggigil ketika mengayuh sepeda di jalanan yang berupa turunan sampai di pertigaan Bliruk. Di pertigaan Bliruk kami gunakan untuk salat subuh dan ngemil bekal makanan yang sudah dibawa sebelumnya. Di pertigaan Bliruk, jika ke utara akan menuju Solo dan jika ke selatan menuju Pacitan.

Setelah salat subuh, perjalanan dilanjutkan ke selatan. Antara turunan dan tanjakan relatif seimbang. Saat itu masih jam 5 pagi, jalanan masih sepi dari kendaraan.

Matahari sudah bersinar cukup terang ketika kami sampai di pertigaan Pringkuku. Jika ke arah timur, kami akan langsung ke kota Pacitan. Jaraknya hanya 10 km, tapi turunannya yang begitu curam, apalagi di hari yang mendung dan kadang juga gerimis. Kami pun memilih arah barat. Meskipun agak jauh dan memutar (23), tapi tujuannya sama, yakni kota Pacitan. Jalanan landai yang terus menurun mengantarkan kami sampai di pantai Teleng Ria, pantai yang paling dekat dengan kota Pacitan. Sayangnya, saat kami sampai di pantai, hujan yang turun semakin deras.

Karena hujan juga tidak kunjung reda, kami pun ke kota Pacitan, juga untuk mencari warung untuk sarapan. Tidak jauh dari pantai kami mampir di sebuah warung soto. Sotonya mungkin soto khas Jawa Timur, karena sedikit berbeda dengan soto yang biasa aku temui di Jogja. Rasanya hampir sama, tapi dengan tambahan kacang merah.

Hujan pun tak kunjung reda ketika kami soto sudah habis kami santap. Dan akhirnya, kami pun segera ke kota Pacitan dan bergegas melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja. Satu hal yang katanya sudah dicita-citakan rombongan Pakem sejak sekitar 2 tahun yang lalu : Akhirnya sampai juga di Pacitan.

Keluar dari kota Pacitan, kami kembali ke arah pertigaan Pringkuku. Namun kali ini kami mengambil jalan yang lebih dekat, yaitu lewat tanjakan Sedeng, yang hanya 10 km sampai ke Pringkuku. Kata Mbah Dar dan Pak Topo Wagimin yang sebelumnya sudah pernah ke Pacitan, tanjakan Sedeng mirip dengan tanjakan dari Sarangan ke Cemoro Sewu, Magetan. Dan ternyata memang benar-benar mantap tanjakannya. Dari 10 orang, yang nonstop tanpa berhenti sebentar dan menuntun sepeda hanya Pak Topo Wagimin. Aku sebenarnya nggenjot terus, tapi beberapa kali berhenti untuk mengambil foto.

Dari Pringkuku kami kembali ke pertigaan Donorojo. Saat itu kalau tidak salah pas tengah hari, jadi beberapa dari kami ada yang salat zuhur, sedangkan yang lainnya ada yang makan siang di warung di deakt pertigaan itu. Sekitar jam 1 siang kami menuju ke utara, ke arah Wonogiri. Di sebuah masjid di pinggir jalan, kami beristirahat dan kalau bisa tidur sebentar sampai jam 2 siang. Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan hingga melewati perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah, dan kami sempatkan untuk sebentar berpotret.

Dari perbatasan, jalanan berupa turunan dan berkelok sampai ke kecamatan Giriloyo, Wonogiri. Pemandangan yang disajikan cukup indah. Sambil menikmati turunan yang ada, kita bisa melihat waduk Gajahmungkur dan Parangjoho dari kejauhan, dengan latar belakang perbukitan kapur yang masuk wilayah Gunungkidul.

Mbah Dar, Pak Topo Wagimin dan Pak Bambang yang sebelumnya sudah pernah menjelajah tempat itu tahu ada jalan pintas menuju ke sisi sebelah barat waduk. Ternyata, jalan pintasnya adalah melewati tengah-tengah waduk Parangjoho yang sedang kering karena hujan yang belum terlalu intens. Meskipun kering, tapi di tengah waduk ada semacam sungai kecil yang harus dilewati dengan mengangkat sepeda. Meskipun dari jauh terlihat airnya Cuma dangkal, ternyata tanahnya yang amblas saat dipijak. Untungnya dari kami semua tidak ada yang terjebak di tengah alirang kali kecil itu.

Badan yang capek mungkin hanya sedikit terasa, dikalahkan oleh semangat untuk segera pulang ke Jogja. Di Eromoko, kami mampir sebentar wedangan di HIK Mas Adi. Kami dipessankan menu minuman yang sama, yakni susu jahe panas. Joss banget enaknya!!

Menjelang gelap, kami melanjutkan ke arah utara menuju Wuryantoro dan naik ke Manyaran, dengan jarak yang lebih dekat daripada harus memutar ke Wonogiri dulu. ‘Naik’ ke Manyaran, karena memang harus melewati jalananan aspal desa yang menanjak hingga sampai ke pasar Manyaran. Sampai di Manyaran, jalanan kembali datar dan berbelok ke arah barat menuju Watukelir.

Ternyata Watukelir berupa turunan. Hal yang aku khawatirkan, karet remku habis, yang depan juga yang belakang. Untungnya rem depan masih pakem, meskipun melewati turunan Watukelir juga sempat mengerem dengan menggunakan sepatu.

Dari Watukelir, perjalanan menuju ke Cawas, Bayat kemudian Wedi. Sampai di pertigaan Wedi sekitar jam 20.00, kami menuju berbelok ke kiri menuju Stasiun Srowot, karena jaraknya lebih dekat. Jalan itu tembus di jalan Solo, masih di wilayah Klaten, sekitar 7 km dari Prambanan. Aku hanya berpikir, “Ah, sudah dekat.” Dan tentu saja, sepanjang jalan Solo kami tetap beriringan karena memang sudah disepakati untuk terus bareng. Sampai di perbatasan DIY – Jawa Tengah di Prambanan, Kang Supri, Mbah Dar, Pak Sarbini dan Pak Pepi mendahului sisa rombongan. Aku, Pak Slamet, Pak Bambang, Mas Pardi, Pak Topo dan Pak Giman berjalan pelan-pelan hingga akhirnya sampai ke rumah masing-masing. Aku pun sampai rumah Sagan jam 22.30.

Berikut beberapa foto yang menjadi cerita dari perjalanan Jogja – Pacitan ini.

Malam hari di seberang gerbang Museum Karst Indonesia, Pracimantoro, Wonogiri.

12-13 km menjelang pantai Teleng Ria, tapi terpaksa ‘ngeyup’ dan ‘iseng-iseng wedangan’ karena hujan turun lagi.

(Lagi-lagi) ‘ngeyup’ karena hujan. Kebetulan ada yang barusan punya acara, jadi bisa numpang berteduh.

Dengan berlatarbelakang pantai Teleng Ria, sekitar 2 km menjelang pantai. Sayang, hujan turun dengan deras ketika sampai di pantai.

Mirip musim gugur di Eropa.

Soto ‘Jawa Timur’

Dilihat dari atas, tanjakan Sedeng yang pertama. Perhatikan papan peringatan di pinggir jalan!!

Istirahat sebentar setelah tanjakan pertama Sedeng. Masih banyak tanjakan lainnya setelah ini.

Tanjakan yang lain lagi, masih wilayah Sedeng.

Pak Slamet pun harus menuntun sepedanya menghadapi tanjakan Sedeng yang luar biasa.

Perbatasan Jawa Timur – Jawa Tengah, sebelum turun ke Giriloyo, Wonogiri.

Setelah menyeberang semacam sungai kecil di tengah waduk Parangjoho, selatan Gajahmungkur.

Jejak ban di tengah waduk yang mengering.

9 thoughts on “257,9 km, 2 malam 1 hari, 3 provinsi – Pacitan

  1. Pingback: Bike Njagong Ponjong | Denmas Brindhil - Situsé

Leave a comment